MEMBINCANG KEBURUKAN ORANG LAIN: Pandangan al-Qur’an dan Hadis

Blog Single

Oleh: Umma Farida


Pendahuluan
    Tanpa disadari, sering kita melakukan sesuatu yang tidak berguna terlebih di saat kita memiliki banyak waktu luang. Sering pula kita melepaskan lelah kita sembari refreshing dengan menonton televisi yang sebenarnya menampilkan sajian-sajian yang tidak mengandung unsur pendidikan di dalamnya. Dunia televisi kini lebih mementingkan aspek hiburan daripada aspek edukatifnya. Infotainment yang memberikan beragam gosip atau informasi selebritis dan public figur misalnya, seringkali hanya menampilkan sisi negatif dari figur tersebut tanpa ada balancing atau kroscek kepada yang bersangkutan. Bahkan, beberapa waktu lalu ada seorang public figur yang terekspos membuka dan membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal dunia.
    Ironisnya, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim banyak yang menyukai tayangan jenis infotainment seperti ini, meskipun Majlis Ulama Indonesia beberapa tahun lalu sudah memfatwakan pengharamannya. Namun, dengan alasan menduduki rating tinggi, infotainment tersebut tetap ditayangkan.

Membincang Keburukan Orang Lain
    Membincang keburukan orang lain atau yang sering disebut ghibah telah diperingatkan oleh Rasulullah Saw. supaya kita semua menjauhinya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ، وَابْنُ حُجْرٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟» قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ» قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: «إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ»
Yahya ibn Ayyub, Qutaibah, dan Ibn Hujr menyampaikan kepada kami, Ismail menyampaikan kepada kami dari al-Ala dari ayahnya, dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah engkau tahu apa ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau menyebut tentang saudaramu sesuatu yang dia tidak sukai (dibenci).” Para sahabat kembali bertanya, “Bagaimana menurutmu wahai Rasulullah, jika memang benar hal yang dibenci itu ada dalam diri saudaraku?” Rasulullah Saw. menjawab, “Jika memang ada dalam dirinya seperti apa yang engkau katakan berarti engkau telah melakukan ghibah kepadanya, tetapi jika yang engkau katakan tidak ada dalam dirinya berarti engkau telah menuduhnya secara batil (dusta).” (Muslim, t.th: hadis no. 2589).

    Hadis yang terkodifikasi dalam kitab Shahih Muslim ini memberikan petunjuk kepada kita untuk tidak menceritakan keburukan orang lain, tidak boleh membicarakan sesuatu yang—jika didengar oleh orang yang bersangkutan—maka tidak akan disukainya. Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang tidak disukai dari seseorang ketika orang yang dibicarakan sedang tidak ada, dan ini dilarang oleh Rasulullah Saw.

    Adanya larangan Rasulullah Saw. dari ghibah ini menunjukkan bahwa beliau sangat memahami naluri manusia yang pada umumnya tidak menyukai jika keburukannya menjadi bahan gunjingan orang lain. Jangankan keburukan yang dibicarakan, kebaikan saja jika dibicarakan belum tentu yang bersangkutan pasti akan menyukainya. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. pernah menuturkan kepada Aisyah umm al-mu’minin untuk melemparkan debu jika ada orang yang memujinya. Ini dilakukan untuk melindungi diri dari sikap ujub dan riya.

    Dalam sabda Rasulullah Saw. yang lain dinyatakan bahwa Allah Swt. akan menutupi aib seseorang pada hari kiamat jika ia mau menutupi aib dirinya dan saudaranya selama di dunia (Muslim, t.th: hadis no. 2590). Sementara acara infotainment yang menyajikan informasi public figur itu acapkali menyajikan hal-hal yang negatif dan kurang proporsional dari figur tersebut. Masih ingat dalam pikiran kita sajian mengenai konflik Eyang Subur dan Adi bing Slamet, Farhat Abbas dan anak-anak Ahmad Dhani yang masing-masing pihak saling membuka keburukan lawannya. Bahkan, beberapa waktu lalu hal negatif dari orang yang sudah meninggal pun disajikan sebagai konsumsi publik. Jelas ini dilarang dalam ajaran agama Islam.

    Tidak hanya hadis, al-Qur’an yang menjadi sumber pertama dan utama juga melarang membuka aib orang lain sebagaimana larangan untuk mempercayai setiap gosip yang datang. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Hujurat: 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
”Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik yang membawa suatu berita, maka klarifikasilah, karena bisa jadi suatu kaum tidak mengetahui kebenarannya, sehingga menjadikan mereka menyesal terhadap apa yang telah mereka lakukan.”    

 
    Klarifikasi menjadi langkah penting untuk memastikan kebenaran suatu berita. Selayaknya kita tidak gegabah menerima suatu berita, sehingga kita tidak salah persepsi menyikapi berita tersebut, yang mengakibatkan penyesalan saja. Sebagaimana dilarangnya ghibah, dilarang pula melemparkan tuduhan dusta, sebagaimana hadis Rasulullah Saw. di atas, “Jika memang ada dalam dirinya seperti apa yang engkau katakan berarti engkau telah melakukan ghibah kepadanya, tetapi jika yang engkau katakan tidak ada dalam dirinya berarti engkau telah menuduhnya secara batil (dusta).”
Al-Qur’an menjelaskan bahwa melempar tuduhan dusta--khususnya kepada kaum perempuan terhormat--dapat membawa konsekuensi yakni tidak diterimanya lagi kesaksiannya selamanya dan dikenai sanksi dera 80 kali:  
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَداءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهادَةً أَبَداً وَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ (4) إِلاَّ الَّذِينَ تابُوا مِنْ بَعْدِ ذلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan dusta terhadap kaum perempuan merdeka yang terjaga kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka sebanyak 80 kali dera, dan jangan lagi terima kesaksian mereka selamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan memperbaiki diri mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nur: 4-5).

Secara umum, ghibah memang dilarang oleh Islam, namun ada beberapa kondisi tertentu dimana ghibah diperbolehkan. Imam an-Nawawi dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Muslim menjelaskan bahwa jika menyampaikan keburukan orang lain dikarenakan tujuan syar’i maka hal itu diperbolehkan, dengan enam alasan:

Pertama, karena adanya tindak penganiayaan. Dalam hal ini orang yang teraniaya boleh menceritakan tindakan buruk orang yang menganiaya kepada penguasa atau hakim untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Kedua, dalam rangka meminta pertolongan untuk mencegah kemungkaran dan menghindarkan kemaksiatan serta untuk mengembalikan orang yang bermaksiat kepada jalan kebenaran, maka orang tersebut boleh menyampaikan kepada orang yang berwenang bahwa si Fulan sudah berbuat kemaksiatan maka lindungilah aku dari kejahatannya.

Ketiga, meminta fatwa, sehingga diperbolehkan bagi orang yang meminta fatwa tersebut menyampaikan kepada mufti tentang kezaliman yang dialaminya.

Keempat, mengingatkan umat Islam dari kejelekan seseorang, misalnya cacatnya seseorang/periwayat yang sudah dinilai cacat oleh para kritikus atau ulama hadis, maka dalam hal ini diperbolehkan, bahkan diwajibkan dalam rangka menjaga syariat Islam. Termasuk diperbolehkan pula jika seseorang menyebutkan keburukan orang lain dengan maksud untuk memperingatkan atau meminta nasehat, misalnya orang yang melihat ada cacat dalam barang yang dijual seseorang, atau menyaksikan pencuri sedang melakukan tindak kriminalnya, dan memberitahukannya kepada si pembeli sebagai peringatan terhadap pembeli tersebut jika si pembeli tidak mengetahuinya, bukan dengan maksud untuk menyakiti si penjual atau pencuri tersebut.

Kelima, jika seorang yang berbuat kefasikan sudah terang-terangan dengan kefasikan yang dilakukannya, seperti minum khamr di tempat umum, maka kita boleh menyebutkan kefasikan yang dilakukannya di hadapan orang fasik tersebut supaya dia tidak lagi melakukan kefasikan, bukan di hadapan orang lain.

Keenam, untuk lebih dikenal atau diketahui karena memang dia sudah masyhur dengan julukan tersebut, misalnya seseorang yang memang sudah dikenal dengan julukan atau panggilan ”si pincang” maka tidak mengapa jika kita menyebut dengan nama julukannya itu (an-Nawawi, 1392 H.: 5: 142).

     Sebagai umat Islam, sudah semestinya kita menutupi aib, cacat, dan keburukan diri kita sendiri maupun orang lain. Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan untuk tidak hanya menutupi, melainkan juga meminimalkan keburukan diri dan menggantinya dengan hal-hal terpuji dan positif, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ حَبِيبٍ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ:: اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ "
Waki’ menyampaikan kepada kami, Sufyan menyampaikan kepada kami, dari Habib, dari Maimun ibn Abi Syabib, dari Abu Dzar, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, ”Bertaqwalah kalian kepada Allah Swt. di manapun engkau berada. Dan, iringilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baikmu, niscaya perbuatan baik itu akan menghapus perbuatan burukmu, dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (Ahmad, 2001: hadis no. 21354).

    Jika kita sudah mampu berinteraksi dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik, tanpa menggunjing dengan lisan ataupun menyakiti dengan tangan dan kaki kita, berarti kita dapat dikategorikan sebagai muslim yang utama, sebagaimana disinyalir dalam hadis berikut:
 حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ القُرَشِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ»
Sa’id ibn Yahya ibn Sa’id al-Qurasyi menyampaikan kepada kami, ayahku menyampaikan kepada kami, Abu Burdah ibn Abdillah ibn Abi Burdah menyampaikan kepada kami, dari Abu Burdah, dari Abu Musa al-Asy’ari Ra. berkata, para sahabat bertanya. ”Wahai Rasulullah, Islam bagaimanakah yang paling utama?” Rasulullah Saw. bersabda, ”Orang Islam yang bisa menyelamatkan umat Islam dari (kejahatan) lisan dan tangannya.” (Al-Bukhari, 1422 H.: 1: 11).

   

BAHAN BACAAN
Al-Qur’an al-Karim
Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal asy-Syaibani, Musnad, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001).
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Damaskus: Dar Thuq an-Najat. 1422 H.).
Muslim ibn al-Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, tahqiq: Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, t.th).
Abu Zakaria Muhy ad-Din Yahya ibn Syaraf an-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H.).  

Share this Post1: