Literasi Hadis dalam Kitab Kuning
Kekayaan intelektual dunia pesantren termanifestasikan dalam khazanah kitab kuning yang dikaji. Kitab-kitab ini adalah karya-karya intelektual yang sangat berharga dalam konteks awal pengumpulan dan penyebarannya dan juga kitab-kitab yang dihasilkan oleh para ulama yang berada pada masa keemasan intelektual Islam. Kitab kuning biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu syarh dan matan. matan adalah bagian teks pokok dalam kitab kuning yang akan diberi komentar yang disebut syarh. Dalam kitab kuning syarh atau matan yang memiliki lebih banyak teks akan diletakkan di bagian dalam yang relatif memiliki lebih banyak ruang dan bagian pinggir kitab kuning diisi oleh teks syarh atau matannya. Kitab-kitab kuning cetakan lama biasanya dicetak dalam kertas yang bervarna kuning dan dijilid dalam bentuk kurasan, yaitu tiap-tiap lembaran kitab yang ada di antara dua covernya bisa dipisahkan atau dicabut untuk memudahkan mentelaah kitab-kitab tersebut sebagaimana seperti cetakan koran yang ada sekarang ini. Disamping itu, kedudukan kitab kuning dan kiai pesantren yang membacakannya juga masing-masing saling melengkapi karena kitab kuning merupakan simbol kodifikasi dari nilai-nilai Islam yang diaplikasikan oleh masyarakat dibawah bimbingan kiai (Masudi, 1985, p. 56). Pengajaran yang ada di pesantren dimulai dari kitab sederhana, sedang lalu dilanjutkan kepada pengajaran kitab yang penjelasannya lebih luas. Kitab-kitab kuning yang diajarkan di suatu pesantren juga bisa menunjukkan level keilmuan dari pesantren tersebut.
Di hampir mayoritas pesantren biasanya menggunakan metode sorogan atau bandongan dalam mengajarkan kitab kuning. Ketika seorang kiai menggunakan metode sorogan, kiai akan membacakan kitab kuning dan mengartikannya, kemudian para santri dalam jumlah tertentu secara mengantri satu persatu akan maju ke hadapan kiai untuk membacakan hasil mengaji kitab kuningnya di hadapan kiai tersebut untuk ditashihkan kebenaran bacaannya. Bacaan santri harus sama persis dengan sebagaimana kiainya waktu membacakan kitab kuning tersebut. Metode membaca dan mengartikan kitab kuning ala pesantren ini sangat menekankan pada makna dan kedudukan kata dalam tiap-tiap kalimat, sehingga mereka memiliki tanggungjawab untuk mengetahui cara-cara membaca dan menerjemahkan kitab kuning tersebut secara tepat dan benar. Selama ini model pengajaran pesantren yang dianggap paling susah adalah metode sorogan karena metode ini menuntut ketelitian, ketekunan dan kesabaran. Metode lainnya adalah metode bandongan, yaitu model pengajaran yang mana kiai membacakan, mengartikan dan menjelaskan isi kitab kuning, sementara para santri mendengarkan dengan seksama dan mencatat arti dan penjelasan dari kiainya tersebut (Mukti Ali, 1987, p. 19).
Disamping dua metode diatas, kitab-kitab kuning juga digunakan sebagai musyawarah, yaitu model diskusi dalam dunia pesantren yang membahas tentang suatu kitab kuning lalu didiskusikan secara mendalam dan detail sehingga mampu memahami ibarat atau ungkapan gaya bahasa pengarang dengan jelas. Disamping itu, sebagian santri bahkan ada yang menghafalkan beberapa kitab kuning yang dianggap sebagai pokok dalam suatu bidang keislaman tertentu (Mas’ud, 2002, p. 104).
Pesantren menjadi objek kajian-kajian ilmiah oleh beberapa pakar, baik dalam negeri maupun luar negeri. G.J.W. Drewes, Karel Steenbrink, Martin van Bruinessen, Mahmud Yunus, Agung Danarto dan Muh Tasrif adalah beberapa pakar yang telah mengadakan penelitian mengenai pesantren dan pengajarannya. Seorang Belanda, L.C.W. Van Den Berg melakukan penelitian di pesantren tentang kitab kuning dan mengumpulkan nama-namanya dan mengklasifikasikannya menurut bidang ilmunya. Akan tetapi dalam penelitiannya, Van Den Berg sama sekali tidak menyinggung literatur kitab kuning dalam bidang hadis. Penelitian yang komprehensif mengenai literatur kitab kuning yang ada di pesantren dilakukan oleh Martin van Bruinessen yang mana penelitiannya berlandaskan pada penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Van Den Berg (Dhofier, 1990, p. 229). Pada abad ke 19 berdasarkan laporan penelelitian Van den Berg, ada paling tidak 50 kitab kuning yang dipakai dalam pengajaran yang ada di Pesantren. Kitab-kitab tersebut terdiri dari 35% kitab-kitanb fikih, 19% kitab ilmu kalam, 28% kitab tata bahasa arab, 16% kitab-kitab tasavuf dan 2% kitab tafsir (Mulkhan, 1998, p. 154).
Jika melihat prosentase diatas, dapat dilihat bahwa kitab hadis tidak mendapatkan porsi dalam prosentase yang berarti studi hadis masih kurang popular pada masa itu. Pada abad ke-20, peneliti Belanda, Martin van Bruinessen mengadakan penelitian terhadap kitab kuning di Pesantren dan berdasarkan penelitiannya yang mengumpulkan delapan ratus lebih kitab menyatakan bahwa pengajaran di pesantren mempergunakan 20% kitab fikih, 17% kitab akidah dan ushuluddin, 12% shorof, Nahwu dan balaghah, 8% kitab hadis, 7% tasawuf, 6% akhlak, 5% kitab doa-doa dan zikir dan 6% siroh nabawiyah. Dari kitab-kitab tersebut banyak juga ditemukan kitab kuning karangan ulama-ulama Nusantara sendiri (Bruinessen, 1990, p. 229).
Studi Islam Nusantara yang didominasi oleh bidang ilmu Fikih, Pada abad ke-20 tersebut kitab-kitab hadis telah mulai banyak dipelajari di pesantren. Pada tahun 1900-1908 pengajaran kitab kuning di masjid-masjid yang menjadi cikal bakal kemunculan madrasah juga telah mulai mengajarkan hadis. Pada masa ini kitab-kitab kuning dalam bidang hadis yang biasa di ajarkan di pesantren atau madrasah adalah kitab al-Arba’in al-nawawiyyah, kitab Shahih Bukhari dan kitab Shahih Muslim. Sementara dalam bidang musthalah hadis kitab kuning yang dikaji adalah kitab Nadham al-Baiquniyyah dan kitab-kitab syarahnya. Pada perkembangan berikutnya, kitab hadis mulai secara massif diajarkan di pesantren. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahmud Yunus, kitab-kitab yang digunakan dalam pengajaran pesantren biasanya Shahih Bukhari, Fathul Bari dan Bulughul Maram karya Ibn Hajar al-Asqalani, Jawahirul Bukhari karya Mustafa Muhammad Umara, Tajridus Sharih karya Syihabuddin Ahmad az-Zabidi, Shahih Muslim, al-Arba’in an-Nawawiyyah dan Riyadhus Shalihin karya Yahya ibn Syarafuddin an-Nawawi, Subulus Salam karya Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, al-Adab an-Nabawi karya Muhammad ibn Abdul Aziz al-Hauli, Naylul Authar karya Muhammad ibn Ali asy-Syaukani, Ilmu Musthalahul Hadis karya Mahmud Yunus, Mandzumah al-Bayquniyyah dan syarah-syarahnya, Minhatul Mughis, dan Nuhbatul Fikar karya Ibn Hajar al-Asqalani. Dari beragam kitab-kitab hadis yang diajarkan di pesantren tersebut, kebanyakan kitab yang dipakai adalah kitab-kitab hadis muhtashar dan kompilasi dari kitab-kitab hadis induk. Sementara kitab-kitab induknya masih relatif jarang diajarkan di mayoritas pesantren di Indonesia. Bahkan hampir di pesantren kitab hadis yang sering diajarkan adalah kitab Bulughul Maram dan Riyadhus Shalihin (Dhofier, 1990, p. 93).
Martin van Bruinessen telah mendata lebih mendalam dari para peneliti-peneliti sebelumnya terhadap kitab-kitab yang digunakan dalam pesantren, termasuk kitab-kitab hadis di berbagai pesantren yang ada di Indonesia. Dalam penelitiannya Bruinessen hanya menambahkan beberapa kitab-kitab hadis di pesantren yang telah disebutkan oleh Mahmud Yunus dalam penelitiannya. Tambahan-tambahan kitab hadis yang didapatkan Martin dalam penelitiannya adalah al- Majalisus Saniyyah bi Syarh al-Arba’in an-Navaviyyah karangan Ahmad b. Hijazi al-Fasyani, Tanqihul Qoul al-Hasis fi Syarh Lubabul Hadis karangan Syekh Navavi Banten dan Muhtarul Ahadis. Disamping itu juga kitab Durratun Nasihin karya Usman bin Hasan al-Hubuvi dan al-Mavaidz al-Ushfuriyyah karya Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri, tetapi kedua kitab tersebut masih harus di teliti lagi kesahihan hadis-hadisnya karena hadis-hadisnya tidak disertai dengan sanad (Tasrif, 2004, p. 112).
Dalam bidang mustalah hadisnya, baik Martin van Bruinessen dan Mahmud Yunus sama-sama menemukan kitab Mandzumah al-Bayquniyyah dan Minhatul Mughits. Kitab Ilmu Musthalah Hadis karya Mahmud Yunus dan Kitab Nuhbatul Fikar karya Ibn hajar al-Asqalani adalah dua kitab yang masih jarang dikaji di kalangan pesantren di Indonesia. Dari penelitian mereka juga bisa dilihat bahwa semua kitab hadis yang biasa dikaji adalah yang memiliki muatan fikih dan akhlak yang terwakili dengan diajarkannya kitab Bulughul Maram dan kitab Riyadhus Shalihin yang hampir diajarkan di banyak pesantren. Dari kitab induk hadis yang diajarkan dalam dunia pesantren adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Menurut Toto Edi, sebenarnya kitab-kitab yang diajarkan di pesantren tidak hanya yang telah disebutkan oleh para peneliti sebelumnya. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, di pesantren kitab induk hadis yang diajarkan hanya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Padahal sebagaimana hasil pembuktian dalam penelitian yang dilakukannya, Toto Edi menyebutkan bahva setidaknya sembilan kitab induk hadis (Kutub at-Tis’ah) telah diajarkan terutama di pesantren-pesantren besar. Akan tetapi dari Sembilan kitab induk tersebut yang paling sering dikaji di kalangan pesantren adalah Kitab Shahih Bukhari dan kitab Shahih Muslim. Di pesantren dalam mengaji kitab-kitab induk hadis biasa dilakukan dengan metode pasaran atau kilatan. Metode pengajaran ini digunakan untuk memberi kesempatan kepada para santri yang telah sampai pada level tinggi dan ingin menyelesaikan pengajian kitab-kitab hadis induk agar bisa mengkhatamkan kitab-kitab pengajiannya (Edi, 2007, p. 60).
Disamping itu, Toto Edi Juga menemukan bahwa di beberapa pesantren pula diajarkan beberapa kitab-kitab hadis, seperti kitab Bulughul Maram dan syarahnya Subulus Salam yang dianggap paling popular dalam dunia pesantren. Disamping itu kitab Javahirul Bukhari, Riyadhus Shalihin, Arbain Navawi, Tanqihul Qoul, Fathul Qarib al-Mujib ala Targhib va Tarhib karya Syekh Muhammad Alwi al-maliki, al-Mawaidz fil Ahadis al-Qudsiyyah karya Imam al-Ghazali dan kitab Mukhtarul Ahadis. Toto Edi juga menambahkan bahwa di sebagian pesantren juga diajarkan kitab dan Mustalah hadis, seperti al-Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Musthalahul Hadis dan al-Manhal al-Lathif fi Ushulil hadis asy-Syarif karya Syekh Muhammad Alwi al-Maliki (Edi, 2007, pp. 102–195).
Dalam dunia pesantren pengajaran hadis bukan ditujukan kea rah ranah studi penelitian hadis, akan tetapi utuk mengembangkan khazanah keilmuan islam dalam bidang hadis. Oleh karenanya, ilmu musthalah hadis dalam diskursus pesantren jarang diajarkan. Di pesantren kitab musthalah hadis atau ulumul hadis yang diajarkan biasanya adalah Mandzumah al-Bayquniyyah dan syarah-syarahnya yang mana adalah kitab ringan dan mudah dipahami karena memang diperuntukkan bagi pemula. Hal ini berarti bahwa pembelajaran ulumul hadis di pesantren lebih menekankan pada pengajaran hadisnya dari pada ulumul hadisnya. Hal ini sebagai bukti bahwa dunia penelitian hadis di pesantren masih belum begitu berkembang dan membudaya (Tasrif, 2004, p. 113).
Disamping itu menurut Martin van Bruinessen, santri-santri pondok sebenarnya sangat mahir dan tahu betul isi dari kitab-kitab hadis, akan tetapi kitab-kitab hadis yang dikaji kebanyakan digunakan sebagai penyokong terhadap kajian keislaman dalam bidang fikih atau akhlak dan memandang kajian hadis sebagai kajian yang sudah selesai sehingga bisa langsung masuk pada level pemahaman karena tilah dianggap sebagai naskah yang matang dan siap untuk disantap kajiannya (Bruinessen, 1999, p. 161). Oleh karenanya, studi hadis di pesantren menekankan pada penjelasan makna, bukan penelitian baik tentang matan, sanad, konteks ataupun kajian hadis lainnya yang merujuk langsung kepada metode penelitian hadis sebagaimana yang ada dalam studi penelitian hadis. Salah satuu faktor yang mempengaruhi pola pengajaran di pesantren, termasuk juga pengajaran hadis, adalah gaya dan corak pendidikan pesantren yang lebih menitikberatkan pada kajian fikih atau sufistik yang tidak terlalu mementingkan aspek-aspek sumbernya dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Hal ini berbeda dengan kelompok salafi wahabi yang lebih menekankan pada kembali kepada al-Qur’an dan hadis yang shahih, sehingga bagi mereka penelitian kesahihan hadis menjadi keniscayaan agar bisa diamalkan (Mastuhu, 1994, p. 30).