Meng-counter Hoax dengan Konsep Mutawatir dalam Hadis
Pertama, sebagaimana karakter dari riwayat mutawatir adalah dibawa oleh orang banyak, maka begitu pula langkah pegiat media ketika mengetahui satu berita tertentu. Jangan hanya puas oleh satu-dua sumber berita saja. Namun, perbanyaklah sumber tersebut. Dari mana pun saja. Bahkan, andaikan sumber itu dari selain ahlinya pun tidak mengapa. Semisal bab agama diambil sumbernya dari web-web tentang sosial-umum. Tidak masalah. Bukan dalam rangka untuk langsung dipercaya, tetapi untuk mengoleksi semata.
Barapa banyak sumber yang dibutuhkan? Ini sama dengan pertanyaan berapakah batas minimal-maksimal dari perawi mutawatir? Maka, sebagaimana riwayat mutawatir itu tidak dibatasi secara hitungan jari menurut pendapat yang terkuat. Namun, dia dibatasi dengan berapa pun adat-istiadat menyebutnya banyak, maka begitu pula dengan pembicaraan karakter mutawatir dalam diskusi kali ini. Yaitu semakin banyak sumber-sumber internet yang dicari, lalu membandingkannya dengan sumber lain baik dunia maya atau pun terlebih dunia nyata hingga terkumpul data yang banyak, maka itu semakin mendekati dengan maksud riwayat mutawatir tersebut. Dan tingkat kebenaran beritanya pun semakin kuat.
Tentunya pengambilan sumber berita itu jangan hanya satu rumpun saja. Maksudnya, jika sudah mendapatkan sumber data yang menyebutkan keterangan A misalnya, maka jangan puas sampai di situ. Cari juga sekuat-banyaknya sumber data lain yang kalau bisa justru menyebutkan keterangan B dan seterusnya. Hal ini dalam rangka untuk membandingkan mana beberapa pendapat dan isi berita yang akurat dan bisa dibenarkan.
Dalam diskusi ilmu hadis, itu ada kajian tentang ta’ârudh al-adillah (pertentangan dalil). Gambarannya adalah apabila ada beberapa hadis lebih dari satu yang bertentangan, maka bisa diambil tiga langkah. Yaitu al-jam’u (mengompromikan), an-naskhu (menyalin) atau at-tarjih (menguatkan salah satunya). Misalnya begini, jika satu hadis menyebutkan bahwa Nabi saw. melarang minum dalam keadaan berdiri. Namun, di hadis lain disebutkan bahwa Nabi saw. sendiri pernah minum air zamzam dalam keadaan berdiri. Maka, ditempuh pertama kali jalan al-jam’u. Yaitu larangan tersebut menunjukkan kemakruhan, bukan keharaman. Sedangkan Nabi saw. melakukannya sendiri adalah dalam rangka bayan al-jawaz (menceritakan bolehnya).
Begitu pula ada hadis yang menyampaikan bahwa Nabi saw. melarang seseorang untuk berziarah kubur. Namun, di hadis lain disebutkan bahwa Nabi saw. menyuruh untuk berziarah dengan alasan itu bisa mengingatkan tentang kehidupan akhirat, menambah takwa karena ingat kematian dan menyemangatkan ibadah. Maka, hadis pertama tentang pelarangan itu disalin (mansukh) dengan hadis yang menyuruh tersebut. Sehingga hukum dealnya adalah disunahkan berziarah kubur dengan alasan tersebut.
Atau ada hadis yang menyampaikan bahwa siapa pun yang menyentuh zakarnya sendiri maka disuruh untuk berwudhu. Sedang hadis lain menyebutkan bahwa ada orang yang bertanya bahwa dia menyentuh zakarnya apakah ia wajib wudhu? Lalu Nabi saw. menjawab bahwa zakar itu hanya bagian tubuhnya (bid’ah), sehingga dia tidak wajib wudhu. Sebagaimana tidak ada kewajiban wudhu dengan sebab menyentuh tangan, kaki, paha dan kepala sendiri. Sama-sama sebagai bagian tubuh. Maka, dua hadis ini bertentangan dan perlu dikuatkan salah satunya (tarjih). Ternyata Imam asy-Syafi’i menguatkan hadis yang mewajibkan mandi. Karena ada faktor sanad yang lebih kuat dan sebagainya.
Maka, teori ini bisa dibawa dan dipraktekkan dalam studi kritik berita anti hoax. Artinya, jika tadi pegiat medsos sudah berusaha untuk mengoleksi dan mengompilasikan beberapa sumber berita yang berbeda-beda. Lalu dia menemukan adanya kontradiksi di antara berita-berita tersebut, maka bisa saja dia menggunakan tiga langkah tersebut di atas. Pertama, al-jam’u (kompromi). Artinya, cari titik-titik temu di antara beberapa berita tersebut agar tidak terkesan bertentangan. Kedua, an-naskhu (penyalinan). Jika memang diketahui mana berita yang lebih dahulu. Ketiga, at-tarjih (penguatan) manakala tidak dimungkinkan dua hal tersebut.
Misalnya, berita tentang awal-tumbuhnya PKI (Partai Komunis Indonesia). Banyak sumber mengatakan kebiadaban mereka terhadap NKRI dan ulamanya. Bahkan ada yang membesarkan bahwa kaum PKI itu sama dengan kafir harbi (musuh) yang halal darahnya. Sehingga ketika mereka dibantai oleh TNI-Polri ketika itu, maka tidak ada kesalahan. Sebab, orang harbi itu memang boleh dengan cara apa pun membunuhnya. Tidak perlu ada kemanusiaan bagi mereka. Namun, tidak sedikit pula berita yang menyebut bahwa PKI itu korban politik pemerintah orde lama saat itu. Karena takut digulingkan oleh kaum PKI, maka dibuatlah narasi dan dibenturkan antara mereka dengan para ulama. Sehingga ada alasan bagi pemerintah untuk membumi-hanguskan mereka.
Maka, bisa saja dikompromikan di antara dua berita tersebut dengan menyebut bahwa dua berita itu sama-sama sepakat bahwa PKI membuat kesalahan. Hanya saja, versi berita pertama adalah sumber kesalahan itu karena PKI menghabisi para ulama dan TNI-Polri. Sedangkan versi berita kedua adalah sumber kesalahan itu karena mereka berusaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan diakui negara. Sebab, betapa pun pemimpin itu sempurna, maka dia tetap akan memiliki kekurangan tentang kepribadian atau pun kebijakan-kebijakannya.
Atau bisa saja berita kedua yang menyebut bahwa PKI itu korban politik pemerintah, itu dinasakh (disalin) oleh berita pertama jika memang terbukti ada kesalahan pemberitaan kedua tersebut. Hal itu harus menelusuri pula waktu pemberitaan. Klaim nasakh itu tidak mudah. Harus akurat pula. Atau bisa juga dengan menggunakan pola at-tarjih (menguatkan salah satu berita) manakala tidak mungkin untuk mengompromikannya. Jika memang sumber berita yang ‘membenarkan PKI’ itu bersikukuh dan tidak menerima untuk dikompromikan, maka jalan terakhir yang ditempuh adalah penguatan salah satu berita. Tentunya, harus dengan faktor-faktor pendukung yang banyak sekali. Seperti suportifitas sumber berita, kejujuran-kredibilitas, subyektifitas-obyektifitasnya dan beberapa faktor pendukung lainnya.
Kedua, karakter mutawatir yang bisa dipakai dalam penyeleksian berita adalah hissiyyah (indrawi). Asumtif, prediktif dan wacana itu tidak bisa diterima di dalam riwayat mutawatir. Maka, hal semacam ini bisa dipakai pula dalam selektif berita. Artinya, biasakan diri untuk melihat isi berita itu tidak bersifat predikit dari beberapa sumber yang diterima. Sebab, jika isi berita sudah berupa wacana, bukan realitas-sosial dan fenomena nyata maka rawan terjadi penyelewengan. Rawan juga terjadi hoax di dalamnya. Yaitu mengatas-namakan sesuatu kepada seseorang yang tidak sebenarnya. Namun, jika isi berita tentang realitas-sosial maka akan lebih mudah untuk mengecek ke lapangan nyatanya.
Adapun jika isi berita itu lebih kepada asumsi, pola pandang, paradigma tokoh tertentu maka di dalam disiplin hadis itu ada kajiannya tersendiri. Yaitu disebut sebagai al-jarh wa at-ta’dil (kritik baik-buruk) sikap-sikapnya. Maka, hal ini juga bisa dipakai dalam alur pemberitaan. Jika isi berita berkaitan dengan pendapat tokoh maka lebih baik tidak menggunakan pola riwayat mutawatir tersebut. Tetapi lebih menggunakan studi tokoh. Yaitu dicek langsung kepada si pemateri atau tokoh yang mengatakannya.
Semisal ada berita bahwa dokter A memberikan keterangan bahwa untuk menangani serangan penyakit struk kepada korban yang sedang mandi di kamar mandi maka disuruh ambil jarum yang dipanaskan. Lalu telinga, jari tangan dan kaki si korban dicoblos sampai keluar darahnya. Maka, tugas penerima berita dalam masalah ini adalah mengecek langsung keberadaan dokter A tersebut. Dipastikan apakah nama itu ada. Dan apakah dia dokter ahli di bidang penyakit dalam atau dia abal-abal. Kemudian hubungi langsung si dokter lewat e-mail pribadi atau pun nomer yang bisa dihubungi. Jika tidak bisa ditempuh jalan tersebut, maka bisa didiskusikan dengan dokter ahli lainnya. Dan apabila semua sumber akurasi tertutup, maka bisa dipastikan bahwa berita tersebut hoax. Sebagaimana berita di atas adalah berita hoax.
Yang dimaksudkan dengan hissiyyah (indrawi) adalah berita berkaitan dengan musyahadat (yang dilihat) atau pun masmu’at (yang didengar langsung). Jika dibawa ke dalam dunia berita, maka bisa dipraktekkan bahwa cek isi beritanya. Apabila nuansa isi berita itu bahwa pembawa beritanya mendapatkan informasi secara langsung. Baik itu lewat persaksian sendiri atau pun mendengar dari sumber utama, maka bisa saja obyek beritanya diduga kebenarannya. Namun, jika dia sendiri sudah tidak jelas dari mana dia mendapatkan berita. Atau dia mendapatkan beritanya secara asumtif maka tidak perlu melacak kembali. Karena potensi hoax dalam berita itu besar sekali. Sebagaimana dalam diskusi tentang hadis mutawatir tersebut.