Kontribusi dan Pemikiran KH. Mahfuz Tremas bagi Kajian Hadis Nusantara
Mahfuz Tremas adalah salah satu ulama asal Nusantara. Kontribusi beliau yang paling nyata dalam bidang hadis adalah karya beliau Manhaj Dzawi an-Nazhar. Mengingat kitab Manhaj Dzawi an-Nazhar merupakan penjelasan (Syarh) dari kitab alfiyah nya Imam as-Suyuthi yang notabene adalah kitab ulum atau mushthalah hadis, maka kitab Manhaj Dzawi an-Nazhar juga merupakan kitab ulum/musthalah hadis.
Dalam memberikan syarh, Kyai Mahfuzh at-Tirmasi masih tetap menggunakan metode klasik, yaitu menjelaskan kata-perkata yang dianggap penting untuk dijelaskan. Dalam penjelasannya, Kyai Mahfuzh mengatakan: “(ilmu hadis) maksudnya secara mutlak adalah ilmu hadis dirayah. Menurut al-Amir: ‘Ini adalah dulu, tetapi sekarang disebut dengan musthalah al-hadis. Ilmu hadis adalah ilmu (yang memiliki kaidah-kaidah yang ditentukan). Kata “qawanin” adalah bentuk jamak dari kata qanun yang bermakna kaidah, (dengannya dapat diketahui), maksudnya ialah dengan kaidah-kaidah tersebut dapat diketahui (kedaan-keadaan matan dan) keadaan-keadaan (sanad) seperti kesahihan, kehasanan, kedhaifannya, kemarfu’annya, kemauqufannya, kemaqthu’annya, sanadnya yang tinggi, atau rendahnya, tatacara menerima dan menyampaikannya, sifat-sifat para periwayat, dan lainnya.
Ketika menjelaskan bait kedua, kyai Mahfuzh mengatakan: Sanad dan matan itu merupakan objek kajian ilmu hadis untuk diketahui hadis yang diterima sehingga dapat dikerjakan, dan hadis yang ditolak sehingga tidak dapat diamalkan, yang bisa jadi hal itu dikarenakan mengandung sifat-sifat yang memungkinkan suatu berita dapat diterima, seperti periwayatnya jujur. Atau sebaliknya, berita/hadis itu mengandung sifat untuk ditolak, seperti periwayatnya berdusta.Adapun yang pertama didominasi oleh dugaan mengenai adanya kejujuran berita dikarenakan adanya kejujuran periwayatnya sehingga berita tersebut diambil.Sedangkan yang kedua, asumsi kuat bahwa berita itu bohong dikarenakan kebohongan periwayatnya sehingga ditolak hadisnya.Yang ketiga jika ditemua tanda-tanda (qarinah) yang menunjukkan salah satu dari dua asumsi di atas, tetapi jika tidak ditemukan qarinah maka hendaknya bertawaqquf.Jika tidak dapat diamalkan (tawaqquf) maka bisa menjadi mardud, namun tidak dikarenakan kepastian adanya sifat-sifat untuk ditolak, melainkan karena di dalamnya tidak ditemukan sifat yang mewajibkan untuk diterima (Mahfudz, p. 1).
Kedalaman pengetahuan Kyai Mahfuzh juga ditunjukkan ketika ia menjelaskan pengertian sanad. Kyai Mahfuzh menerangkan perbedaan antara sanad, musnid, isnad, musnad.Sanad merupakan jalan menuju matan.Musnid yaitu orang yang mengatakan suatu hadis.Isnad adalah menisbahkan suatu berita/hadis kepada orang yang mengatakannya.Sedangkan musnad adalah hadis marfu’ yang bersambung sanadnya.Selain itu, musnad juga diartikan sebagai kitab yang di dalamnya terkumpul hadis-hadis yang disandarkan kepada/diriwayatkan oleh sahabat.
Tatkala menjelaskan pengertian hadis, Kyai Mahfuzh menjelaskannya beserta contohnya.Hadis ditinjau dari pengertian bahasa dan istilah.Hadis ditinjau secara etimologis merupakan lawan dari qadim.Sedangkan secara terminologis ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah suatu hadis dinamakan hadis jika bersumber dari Rasulullah Saw.saja, ataukah termasuk kategori hadis segala sesuatu yang juga bersumber dari sahabat atau tabi’in juga. Kyai Mahfuzh kemudian menjelaskan bahwa jika memang berita/hadis itu berasal dari sahabat atau tabi’in tidak boleh hanya disebut hadis saja, tetapi harus disebut sebagai hadis mauquf dan maqthu’.
Hadis Rasulullah Saw. dibagi kepada: Shahih, Hasan, dan Dha’if. Kyai Mahfuzh menjelaskan hal tersebut secara mendetil sebagai berikut: Hadis Shahih dipaparkan dulu secara kebahasaan, dan dilanjutkan pengertian hadis shahih yang dimaksud dalam kajian ilmu hadis,yaitu hadis yang bersambung sanadnya, ditransfer dari orang yang adil dan dhabith, tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat). Di sini, Kyai Mahfuzh menguraikan lebih lanjut pengertian adil dan dhabith dalam kajian ilmu hadis.
Kyai Mahfuzh juga menegaskan bahwa kriteria periwayat tidaklah harus laki-laki, yang terpenting adalah ia memiliki kriteria adil dan dhabithmaka dapat diterima hadisnya meskipun orang yang menyampaikan riwayat tersebut adalah seorang perempuan. Kata-kata walau untsa menunjukkan perhatian Kyai Mahfuzh kepada periwayat perempuan (Mahfudz, p. 9).
Demikian pula, ketika Kyai Mahfuzh menjelaskan tentang hadis Hasan.Ia membahasnya dari segi etimologis terlebih dahulu, baru kemudian menjelaskannya secara terminologis sebagai berikut:
Hasan secara bahasa adalah yang diinginkan jiwa dan ada kecenderungan kepadanya.Sedangkan menurut istilah ada berbagai macam ungkapan. Al-Bulqini berkata: Hadis hasan yaitu hadis yang berada di tengah-tengah antara hadis shahih dan hadis dha’if, seperti ada ‘sesuatu yang melukai’ dalam diri orang yang menghafal (hadis). Adapun penyusun kitab nazham alfiyah (Imam as-Suyuthi) cenderung mengartikan apa yang diridhai darii jiwa tetapi sesuai dengan batasnya. Dengan demikian, hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya dengan terhindar dari gugurnya para periwayatnya tatkala mendengarkan apa yang diriwayatkannya dari gurunya. Yang dinukil dari orang yang adil (definisi adil telah dijelaskan ketika membahas tentang hadis shahih), namun kualitas ke-dhabith-annya di bawah kualitas shahih.Tanpa ada syadz dan illat.Adapula yang mendefinisikan; Hadis hasan yaitu setiap hadis yang terhindar dari cacat, namun dalam sanadnya terdapat seorang periwayat yang tidak diketahui kualitasnya, atau periwayat tersebut terkenal agak kurang terpercaya.Ada pula yang mengartikan hadis hasan yaitu hadis yang bersambung sanadnya yang kualitasnya mendekati tsiqah atau mursal tsiqah dengan tanpa ada kejanggalan dan cacat.Ada pula yang mendefinisikan hadis hasan adalah hadis yang memiliki kemungkinan mendekati dha’if. Atau, hadis yang dalam sanadnya ada periwayat yang diduga berdusta, tanpa ada kejanggalan (Mahfuzh at-Tirmasi, t.t: 31).
Pengertian hadis dha’if juga dijelaskan Kyai Mahfuzh secara bahasa dan istilah.Suatu hadis dikategorikan dha’if kalau tidak memenuhi syarat hadis hasan ataupun shahih. Atau dengan kata lain, tidak ada ketersambungan sanad, periwayat tidak adil, tidak dhabith, ada kejanggalan dan ada cacat. Selanjutnya, dijelaskan pula pembagian hadis dha’if menurut para ulama.Ibn Shalah membaginya kepada 49 bagian.Al-Iraqi membaginya menjadi 42 bagian (Mahfudz, p. 40).
Kyai Mahfuzh memberikan penjelasan dalam Manhaj Dzawi an-Nazharnya sesuai dengan urutan bait yang ditulis oleh as-Suyuthi. Wawasan historis ilmu hadis juga dikuasai oleh Kyai Mahfuzh.Menariknya, ketika menjelaskan sejarah kodifikasi hadis, Kyai Mahfuzh merujuk kepada kitab-kitab hadis mu’tabar, seperti Shahih al-Bukhari.
Awal pengkodifikasian hadis terjadi pada penghujung abad II Hijriah. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan: Umar bin Abd al-Aziz menulis surat kepada Abu Bakr bin Hazm: Lihatlah hadis-hadis Rasulullah, lalu tulislah, karena sesungguhnya saya takut ilmu itu akan hilang bersama dengan gugurnya para ulama.
Sebagai perbandingan dari apa yang dirujuknya dari al-Bukhari, Kyai Mahfuzh juga mengutip ungkapan Abu Nu’aim, meskipun secara substansi sejatinya tidak ada perbedaan. Ungkapan Abu Nu’aim itu adalah: Umar bin Abd al-Aziz menulis surat ke seluruh penjuru, lihatlah hadis-hadis Rasulullah lalu kumpulkanlah. Dapat dipahami dari teks ini, bahwa sejak saat itulah dimulainya kodifikasi hadis.Adapun orang yang pertama kali mengumpulkan hadis Nabi yaitu Abu Bakr bin Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (Mahfudz, p 17).
Selanjutnya, Kyai Mahfuzh menguraikan orang-orang yang mengumpulkan hadis berdasar tema-tema kehadisan (al-abwab al-hadisiyyah), seperti bab ibadah, bab mu’amalat, dan sebagainya pada abad ke-2 Hijriah yaitu Imam Abd al-Malik bin Yunus bin Juraij di Makkah, Abu Mu’awiyah Hasyim bin Basyir as-Salmi di Wasith, Imam Malik bin Anas di Madinah, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, al-Auza’I di Syam, Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan. Sedangkan yang hanya mengkhususkan pada hadis-hadis shahih yaitu Imam al-Bukhari, dan Imam Muslim. Tidak cukup di sini, Kyai Mahfuzh juga menjelaskan adanya perbedaan pendapat mengenai manakah yang paling utama, kitab Shahihnya Imam al-Bukhari atau kitab Shahihnya Imam Muslim (Mahfudz, p 19).
Pengetahuan dan penguasaan Kyai Mahfuzh terhadap kitab-kitab hadis sangat membantu beliau dalam memberikan syarh terhadap kitab Imam as-Suyuthi, hal ini terlihat ketika ia mengulas tentang hukum hadis hasan shahih sebagaimana yang sering diungkapkan Imam at-Tirmidzi. Kyai Mahfuzh sangat memahami komentar para ulama terhadap penilaian Imam at-Tirmidzi mengenai hadis hasan shahih.Seperti Ibn Shalah yang mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan hadis hasan di sini adalah hasan secara bahasa, bukan hasan secara istilah.Maksudnya, hadis tersebut adalah hadis yang oleh jiwa cenderung untuk diterima dan hati tidak menolak. Demikian pula dengan Ibn Daqiq al-Ied yang mengatakan bahwa hasan tidak selalu harus diposisikan di bawah shahih, apalagi jika disebut hadis hasan shahih, berarti hadis tersebut memiliki peluang untuk menjadi shahih lewat jalur lain (Mahfudz, p 37-38).
Meski sudah menyinggung arti musnad ketika memberikan syarh terhadap kata sanad, namun ketika dalam nazham-nya Imam as-Suyuthi ada pembahasan tersendiri tentang musnad, Kyai Mahfuzh juga kembali membahas pengertian musnad.Menariknya, penjelasan Kyai Mahfuzh bukan merupakan pengulangan sama sekali. Hal ini juga menunjukkan keluasan ilmu Kyai Mahfuzh dalam bidang hadis.
Pembahasan tentang musnad ini, yang ditulis as-Suyuthi dalam satu bait, tetapi dalam syarh nya Kyai Mahfuzh bisa mencapai 18 baris dengan menjelaskan bahwa yang disebut musnad adalah hadis yang dirafa’kan kepada Nabi Saw. (marfu’) dan memiliki sanad bersambung. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa musnad adalah hadis marfu’ saja, sehingga tidak termasuk hadis yang mauquf, mursal, mu’dhal, dan mudallas. Ada pula yang tidak cukup syarat marfu’ saja, tetapi juga harus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw (Mahfudz, p. 42).
Penjelasan Kyai Mahfuzh tentang hadis maudhu’ adalah hadis yang bohong, diciptakan, dan dibuat-buat.Hadis semacam ini dinilai sebagai hadis yang sangat buruk. Hadis yang palsu (maudhu’) dapat diketahui dari pengakuan orang yang memalsukannya, bahwa dirinya telah memalsukan hadis seperti ucapan Umar bin Shubaih: “Saya telah memalsukan khutbah Nabi Saw. yang saya nisbahkan kepada beliau.”
Hadis maudhu’ itu juga dapat diketahui dari keganjilan makna yang dikandung hadis tersebut.Atau, keganjilan lafalnya, karena lafal/teks hadis yang bersumber dari Rasulullah Saw.selalu memiliki kata-kata yang baik dan tidak janggal, mengingat Rasulullah Saw. adalah seorang yang fashih. Selain itu, hadis maudhu’ juga dapat dikenali jika hadis tersebut ternyata bertentangan dengan dalil yang qath’i, seperti al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.yang mutawatir, atau ijma’. Demikian pula, bertentangan dengan akal (Mahfudz, p. 89-90).